sumber : dokumen pribadi
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistis, dan elitis.
Di bawah ini merupakan beberapa puisi dan sajak karya Angkatan Pujangga Baru :
Menjelang Pagi oleh Rifai Ali
Sunyi sepi seram dan kelam
Dalam suhur di ujung malam
Nyenyak terhenyak insan bertilam
Tiada berbalas desiran alam
Silu nesan dipuput baju
Tersenak keluh angin mendayu
Tiada seorang mendengar rayu
Hanyalah daun berdesih sayu
Sejak senja hendak bernanung
Ketika syamsyiar darah tertuntung
Sampai gelap bersayap maung
Tiada berbalas desiran alam
Kian gelaplah hening loka
Kian seni merandai duka
Kian korong turut terluka
Meratapi bahari zaman merdeka
Manusia oleh Rifai Ali
Aku kagum menyari gambar
Pusaka jari pujangga besar
Hidup timbul bagai menggeletar
Darah di jantung berdebar-debar
Sukma serasa tidak di bumi
Demi menyimak nyanyian seni
Demi menyimak nyanyian seni
Terlayang-layang di atas fani
Atau tercampak ke sunyi mati
Kalbu cair mata berair
Darah nyawa suci mengalir
Waktu merasai sari syair
Ratap pujangga terbilang mahir
Darah beku, kakiku kaku
Tampan arca tegak terpaku
Mengherani bangunan sebukit batu
Tinggi meninju langit biru
Lelah otak mengira-ngira
Besi terbang atas udara
Silam menyilam dalam segara
Di darat bak ular sendiri mara
Betul sempurna wujud insani
Gaib pendapat akal dan budi
Tidak termakan dik rasa hati
Kematian manusia punah bak api!
Angklung oleh M. Taslim Ali
Sedang bermenung menyadar untung
Kedengaran dentung suara angklung
Merayu beta dengan duka
Duka nestapa rakyat jelata
Bagai kelihatan di penglihatan
Dirundung rawan di tepi jalan
Dua berkawan dekat pagaran
Meminta makan, harapkan pakaian
Bajunya becak, koyak-koyak
Hidup mendesak, mereka tercampak
Kian kemari mencari rezeki
Buat pembeli sesuap nasi
Jangan tertawa saudara semua
Melihat pakaiannya demikian rupa
Dari desa datang mereka
Dibawa ditunda alun sengsara
Banyaklah dia telah menderita
Siksa neraka rantau dunia
Rezeki liar hendak dikejar
Kesudahan kisar perut yang lapar
Berdentung-dentung bunyinya angklung
Berdengung-dengung di dalam menung
Berulang-ulang menyatakan malang
Bertimpa datang, bertalu menyerang
Hilang dengungnya, tinggallah beta
Di penglihatan sengsara semata-mata
Cahaya suka meninggalkan mata
Gelombang duka bergulung di dada
Berpisah oleh Fatimah Hasan Delais
Sungguh berat rasa berpisah
Meninggalkan kekasih berusuh hati
Duduk berdiri sama gelisah
Kemana hiburan akan dicari
Kian kemari mencari kesunyian
Mengenangkan kasih diri masing-masing
Hati terharu, dilipur nyanyian
Tapi suara tak mau mendering
Dimanakan dapat awak menyanyi
Bukankah sukma tersentuk duri?
Hati pikiran berusuh diri?
Dimanakan dapat bersuka ria
Tidakkah badan sebatang kara?
Kenangan melayang nyebrang segara?
Bukan Beta Bijak Berperi oleh Rustam Effendi
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak negeri
Musti menurut undangan mair
Sarat saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma
Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu
Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak nak datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurang lukisan mamang
Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingkaian pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun
Rindu oleh Asmara Hadi
Di bawah langit bertabur bintang
Tiada berawan, permai syahdu
Di pasir pantai aku terlentang
Mendengar ombak rindu berlagu
Air mataku berlinang-linang
Rindu-sendu menyiksa kalbu
Dengan angkasa gilang-gemilang
Jiwaku ingin menjadi satu
Aku merasa sebagai tundungan
Dari angkasa, gemilang permai
Dalam dunia menanggung sengsai
Kapankah kalanya datang tulungan
Maha Kuasa memberi karunia
Membukakan daku pintu bahagia?
Pesanku oleh Asmara Hadi
Bila badanku nanti lah mati
Terhantar lemah tiada berasa
Suaraku diam, tiada lagi
Bernyanyi dalam perjuangan masa
Kuburkan daku, kawan-kawanku
Di tepi lautan biru permai
Jiwaku selalu cintakan lagu
Lautan abadi rindukan pantai
Di tempat sepi, dimana hanya
Dapat didengar suara lautan
Dan atmosfer membuat jiwa
Hiba memandang gambar kenangan
Di sana ku ingin berkubur
Di tepi lautan simbol jiwaku
Seperti anak sentosa tidur
Di pangkuan Bunda Indonesiaku
Hujan oleh Muhammad Zai Saidi
Bagai kapas resikan angin
Ringan-ringan hasrat melayang
Terkadang ada rasa kepingin
Agar sukma tinggi mengawang
Bersatu dengan gabak di hulu
Segar dingin menyiram bumi
Hinggap melata di rumput hina
Dibancur matari, naik lagi
Biar sukma hidup abadi
Bebas lepas meningkah alam
Tidak mengikat, tidak mengekang
Nampak-nampak tani terlalai
Memuji rahmat semesta alam
Berlinang-linang air mata riang
Bertemu oleh Armijn Pane
Di tepi pantai lau kami bersua
Dan kami memandang ke dalam mata masing-masing
Yang penuh sengsara, penuh duka
Karena negeri digenggam bangsa asing
Dengan diam kami berjabat tangan
Sambil menentang muka saudara yang muram cahaya
Kami bersama pergi berjalan
Melalui dataran di senja kala
Angin meniup jubah kami
Bagai menghembus kain mati
Desau Pimping oleh N. Adil
Pimping, kerap kudengarkan bahana desaumu
Bila angin lemah berhembus kelilingmu
Puncakmu terkulai laku merendahkan diri
Engkau tunduk bernyanyikan duka yang menyayat hati
Sambil menggeletar sekujur batangmu
Tegak dan merunduk memadahkan baitmu
Sungguh meresap dalam hati nuraniku
Karena lagumu ittifak dengan dukacitaku
Di bawah keteduhan kerap kududuk berjuntai
Memandangi riak bergelung-gelung dengan lunglai
Meningkah lagu desau daunmu merayu itu
Hening, sentosa, tak terganggu-ganggu
Aku mencampungkan diriku ke dalam gelora
Seloka dukamu, melambung tak indahkan kala
Hanyut dalam arusnya bagai bermimpi
Sujud mendoakan rahmat Tuhan Illahi
Menumbuk Padi oleh Sanusi Pane
Dalam cahaya bulan purnama
Anak dara menumbuk padi
Alu arah lesung bersama
Naik-turun berganti-ganti
Badan ramping tunduk berdiri
Dengan gerak manis selalu
Muka cantik berseri-seri
Berat kerja mengangkat alu
Datang berombak suara salung
Cinta birahi lagu kandung
Hendak mengambil hati perawan
Sebentar berhenti anak dara
Menumbuk padi, mendengar suara,
Tersenyum simpul memandang awan
Itulah beberapa sajak yang ditulis oleh pujangga-pujangga dari Angkatan Pujangga Baru. Sajak-sajak di atas aslinya ditulis dengan ejaan lama namun telah digubah ke ejaan baru oleh penulis dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam memahami tulisan dan isi dari sajak itu sendiri. Demikian postingan kali ini, semoga bermanfaat dan dapat menambah ilmu teman-teman pembaca. Terima kasih. Bye!
sumber :
Buku Pudjangga Baru Prosa dan Puisi karya H. B. Jassin
Buku Pudjangga Baru Prosa dan Puisi karya H. B. Jassin
https://id.wikipedia.org/wiki/Angkatan_Pujangga_Baru
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-sastra-angkatan-pujangga-baru/83581
3 Comments:
karya yang patut diapresiasi
Bagus, tapi ini bikin sy capek nulis, pendekin dikit sih
ini tahun 2022 dan
aku sangat berterima kasih
kamu sudah lelah menulis.
Tetaplah mencinta bahasa dan alunan rima.
Semoga cintamu berbalas bahagia.
Post a Comment